Dosen Favoritku adalah…

Tak terasa sekarang sudah memasuki awal bulan November 2011 [padahal terasa sekali sih, apalagi kalau sudah memasuki akhir bulan :D]. Kuliah semester 3 sudah memasuki minggu ke-8. Biasanya pada saat-saat seperti ini merupakan waktu yang sibuk bagi mahasiswa karena harus belajar untuk menghadapi Ujian Tengah Semester (UTS). Namun, hal ini tidak berlaku bagi jurusan saya dan beberapa jurusan lainnya di ITS yang sudah menerapkan kurikulum Student Center of Learning (SCL). Dalam kurikulum SCL ini seorang dosen tidak diharuskan mengadakan ujian untuk menilai mahasiswa mereka. Ini berarti tidak ada waktu atau minggu-minggu yang dikhususkan untuk diselenggarakan UTS dan UAS. Senang??? Iya sih… karena tidak ada saat-saat di mana otak berada dalam tekanan yang tinggi seperti saat UTS dan UAS.

Meskipun demikian, itu tidak berarti bisa kuliah santai dan suka-suka karena ada beberapa, bahkan kebanyakan dosen yang mengadakan ujian yang sifatnya sama dengan UTS dan UAS. Hanya saja waktunya memang lebih fleksibel dan kebanyakan diadakan pada malam hari agar tidak mengganggu proses perkuliahan. Hal lain yang tidak bisa membuat saya dan teman-teman lain santai-santai adalah tugas-tugas perkuliahan yang cukup menyita pikiran dan energi. Ini terutama terjadi pada semester dua yang lalu. Hampir setiap akhir pekan diisi dengan mengerjakan tugas. Dan ini yang membuat kuliah lebih seru dan bisa menjadi pengisi waktu luang di akhir pekan. Di semester 3 ini Alhamdulillah tugas-tugas tidak sebanyak waktu semester kemarin. Padahal saya mengambil enam mata kuliah (22 SKS) pada semester ini, paling banyak dibandingkan dua semester sebelumnya.
Itu tadi sedikit cerita tentang proses perkuliahan saya di ITS. Sekarang, saya akan mencoba membahas topik yang lebih lebih seru, yaitu siapa sih dosen favorit saya di jurusan SI ITS? Oke, sebelum menyebut nama-nama dosen favorit saya, ada beberapa kriteria yang mempengaruhi penilaian saya tentang favorit tidaknya seorang dosen.
1. Detail Rencana Perkuliahan
Setiap awal semester, seorang dosen pasti memberikan Rencana Perkuliahan(RP) / silabus tentang materi apa saja yang akan dijarkan selama satu semester serta kriteria terhadap penilaian yang diberikan. RP yang baik menurut saya adalah RP yang dibuat secara jelas dan terperinci. Misalnya, pada minggu I akan dibahas materi xxx disertai dengan kompetensi yang didapatkan dari materi tersebut. Untuk kriteria RP ini, ada beberapa dosen yang menurut saya sangat baik dalam menyajikan rencana perkuliahannya sedangkan beberapa dosen lainnya hanya membuat RP seadanya.
2. Konsistensi antara Proses Kuliah dengan RP yang telah disusun
Kriteria ini berkaitan dengan kriteria pertama. Telah disebutkan bahwa setiap awal semester menyusun RP. Nah, seharusnya proses perkuliahan dijalankan sesuai dengan RP yang telah disusun oleh dosen tersebut. Jadi, seorang dosen harus konsisten dengan rencana yang telah dia buat sendiri. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Ada beberapa dosen yang “melenceng” dari Rp-nya. Hal ini tentu saja bisa mengurangi penyerapan terhadap materi yang diberikan kepada mahasiswa.
3. Penyampaian materi
Kemampuan dosen dalam menyampaikan materi sangat penting karena dengan penyampaian materi yang baik, mahasiswa dapat lebih mudah menangkap materi yang diberikan. Selain itu, materi hendaknya juga diberikan secara variatif, artinya tidak dengan cara-cara itu saja. Hal ini dapat membuat mahasiswa tidak cepat bosan dan mungkin bisa lebih mudah memahami materi yang disampaikan.
4. Ketepatan waktu
Kriteria yang juga tidak kalah penting adalah ketepatan waktu dosen dalam mengajar. Sebagai pengajar, seharusnya dosen dapat memberikan contoh yang baik, antara lain dengan datang tepat waktu pada saat mengajar. Mahasiswa, menurut saya, akan lebih menghargai dosen yang selalu datang tepat waktu,karena hal ini akan mempengaruhi semangat dan antusiasme mahasiswa dalam mengikuti proses perkuliahan. Selain itu, dengan datang tepat waktu, dosen juga dapat menyampaikan materi dengan lebih baik sesuai dengan RP yang telah disusun. [Sayang sekali, kriteria ketepatan waktu tidak ditanyakan pada saat mahasiswa mengisikan IPD di setiap akhir semester :(]

Dari keempat kriteria tersebut, maka saya memilih MW dan AM sebagai dosen favorit saya–setidaknya sampai semester 3 yang sedang berjalan ini. Alasannya, kedua dosen tersebut konsisten terhadap RP yang telah disusun dan sangat baik dalam menyampaikan materi. Dalam hal ketepatan waktu, MW juga sangat baik. Jarang sekali terlambat, kecuali akhir-akhir ini. AM pada semester pertama bisa dibilang sangat kurang dalam hal ketepatan waktu. Dia sering terlambat dalam waktu mengajar dan sering juga karena terlambat itu kadang-kadang dia menambah/memperpanjang waktu untuk menutupi materi yang belum disampaikan. Namun, hal itu berubah pada semester 2 kemarin. Dia lebih bisa datang tepat waktu. Selain itu, dia juga membawakan materi dengan lebih variatif, yaitu dengan slide, video, diskusi, dan lain-lain. Selain itu, dia juga termasuk dosen yang rutin memberikan tugas sehingga membuat saya tidak terlalu sering melamun memikirkan yang tidak-tidak :D.

Bu menteri itu….

9 September 2006 (?). Suasana di dalam ruang Jakarta Convention Center (JCC) sangat ramai. Ruangan saat  itu dipenuhi wisudawan/wisudawati dari sebuah perguruan tinggi kedinasan di Jakarta. Mereka duduk menghadap ke panggung yang di situ terpampang spanduk bertuliskan “ xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx integritas, kompeten, xxxxxxxxxxxxxx” (maaf lupa tulisan lengkapnya apa :D). Di sebelah kanan depan para wisudawan/wisudawati, duduk para tamu undangan termasuk seorang ibu yang berpakaian kebaya. Senyumnya terlihat seperti menyepelekan, tapi yang jelas dia juga kelihatan seorang yang cerdas. Melihat spanduk yang terpampang di panggung, dia terlihat membuat sedikit corat-coret, mungkin buat bahan untuk memberikan sambutan nanti.

Pada saat namanya dipanggil dan diminta untuk memberikan sambutan, dia berjalan dengan penuh percaya diri, persis seperti yang sering terlihat waktu tampil di televisi. Dalam sambutannya dia membahas tuntas isi dari spanduk tadi: kompeten, integritas, dan satu lagi saya lupa. Dengan bahasa yang lugas  dia menerangkan ketiga hal tersebut satu per satu. Yang saya ingat pada saat itu adalah pada saat dia menyampaikan definisi integritas. “integritas berasal dari kata integer, yang berarti utuh/bulat.  Integritas itu fungsinya seperti tameng. Seseorang yang mempunyai integritas tinggi, berarti dia mempunyai tameng yang kuat untuk bisa menolak perbuatan yang tidak sesuai aturan”, begitu kurang lebih penjelasan yang dia terangkan mengenai integritas. Jelas dan terang sekali. Pantas saja dia dipilih menjadi menteri keuangan menggantikan pak Jusuf Anwar. Ya, dia adalah Ibu Sri Mulyani Indrawati. Pada saat pertama kali dia diangkat menjadi menteri keuangan saya sempat kecewa karena dia mengganti menteri yang berasal dari alumni perguruan tinggi yang sama dengan saya dan karena dia dulu pernah bekerja di IMF–organisasi keuangan yang bukan menyelamatkan Indonesia dari krisis moneter 1997 tetapi justru membuat keuangan Indonesia menjadi semakin berantakan. Namun, apa yang dia sampaikan dalam acara wisuda itu membuat saya berubah persepsi terhadapnya. Saya sangat terkesan dan saya kira dia memang orang yang benar-benar pantas mengisi posisi menjadi menteri keuangan RI.

Saat ini, di akhir tahun 2009, setelah tiga tahun berlalu dari acara di JCC dan sejumlah prestasi dan penghargaan yang telah diraih, dia mendapat sorotan negatif. Dia tersangkut kasus Bank Century, kasus yang dinilai merugikan keuangan negara hingga 6,7 triliun. Apakah dia menikmati uang itu? Saya tidak yakin akan hal tersebut. Dari pidato sambutan yang dia sampaikan tiga tahun lalu, terlihat dia bukan hanya bisa bicara mengenai integritas tetapi saya yakin bahwa dia memang seorang yang mempunyai integritas tinggi.  Semoga keyakinan saya itu benar, dan jika dia dinyatakan bersalah, saya harap dia dinyatakan bersalah bukan karena menerima bagian dari uang tersebut, tetapi karena kesalahan kebijakan, salah perhitungan. Kesalahan seperti itu—menurut saya—wajar karena seperti apapun pandainya seseorang, sekali-kali pasti dia juga bisa melakukan kesalahan. Karena salah itu manusiawi, bisa dialami siapa saja, termasuk Bu Menteri kita yang satu ini.

Ketika tidak memilih menjadi sebuah pilihan

Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 sudah di depan mata. Sekitar kurang dari dua bulan lagi hajatan demokrasi terbesar di Indonesia ini akan digelar. Berbagai persiapan baik oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara pemilu maupun para peserta pemilu (partai politik dan calegnya) sibuk dilakukan. KPU misalnya terus berkejaran dengan waktu untuk mempersiapkan logistik pemilu seperti kertas suara dan kotak suara. Sosialisasi mengenai tata cara pemilu juga gencar dilakukan. Seperti yang sudah kita ketahui, pemilu kali ini tidak lagi memilih dengan mencoblos gambar parpol/caleg melainkan dengan mencontreng. Sebuah perubahan yang tidak terlalu signifikan tentunya dan justru bisa berdampak negatif, yaitu banyaknya surat suara yang dinyatakan tidak sah karena ada kesalahan dalam pencontrengan. Oleh karena itu, sosialisasi tata cara pencontrengan ini memang patut menjadi perhatian khusus bagi KPU demi suksesnya pemilu kali ini.

Di pihak parpol sendiri, mendekati waktu pemilu kampanye baik yang dilakukan melalui media cetak maupun elektronik semakin gencar dilakukan. Namun, iklan parpol di televisi yang sering saya lihat hanya didominasi oleh partai besar dan partai-partai baru yang didukung dengan dana besar. Selain kampanye lewat media massa, kampanye juga dilakukan dengan pemasangan bendera dan atribut partai di pinggir-pinggir jalan. Hal ini memang sudah menjadi rutinitas setiap kali diadakan pemilu dan satu hal yang tidak berubah dari rutinitas ini adalah terganggunya ketertiban umum karena pemasangan atribut dan bendera partai tidak mengindahkan tempat dan terkesan asal-asalan.

Bagi para caleg, waktu penyelenggaraan pemilu yang semakin mepet membuat mereka semakin aktif mempromosikan dirinya melalui berbagai kegiatan. Di lubuk linggau misalnya, menghadiri acara pernikahan menjadi acara yang wajib bagi para caleg untuk hadir karena di acara seperti ini lah kesempatan mereka untuk lebih dikenal oleh orang banyak. Penentuan lolos tidaknya seorang caleg dengan suara terbanyak tampaknya juga memacu semangat para caleg untuk giat mempromosikan diri mereka untuk bersaing dengan caleg lainnya, yang ada dalam satu partai sekalipun.

Berbagai persiapan yang telah dilakukan bertujuan demi suksesnya pemilu 2009. Namun, di balik itu semua ada satu masalah-jika tidak bisa disebut sebagai ancaman-bagi suksesnya pemilu 2009 ini, yaitu perkiraan akan tingginya angka golput atau pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya. Perkiraan ini didasarkan atas tingginya angka golput pada penyelenggaraan pilkada di sebagian besar daerah di Indonesia. Angka golput rata-rata mencapai 30% dan bahkan ada daerah yang apabila golput diikutsertakan sebagai calon kepala daerah, dia lah yang akan menjadi pemenangnya, seperti yang terjadi pada pilihan gubernur jawa tengah beberapa waktu lalu.

Banyak hal-dalam pandangan saya sendiri-yang menyebabkan para pemilih tidak menggunakan hak pilihnya dari penyebab yang sepele sampai penyebab lain yang bisa disebut cukup idealis. Penyebab yang sepele yaitu keengganan memilih karena membayangkan alangkah repotnya pada saat membuka kertas suara yang begitu besar karena berisikan 38 partai ditambah lagi dengan gambar para caleg masing-masing partai yang juga tidak kalah banyaknya. Alasan lain terjadinya golput adalah karena adanya himbauan dari seorang tokoh yang berpengaruh dalam masyarakat. Kita mungkin pernah mendengar ada tokoh nasional yang pernah memberikan ancaman bahwa dia akan menyuruh para pengikutnya yang berjumlah besar untuk tidak menggunakan suaranya pada pemilu kali ini apabila partainya tidak lolos pada saat verifikasi parpol oleh KPU. Bagi sebagian besar masyarakat-termasuk saya-mungkin menganggap bahwa pernyataan hanya omong kosong belaka. Namun, bagi kalangan tertentu yang menjadi pengikut setia tokoh ini, pernyataan seperti ini bisa menjadi sugesti bagi mereka untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Sedangkan alasan yang saya sebut sebagai alasan yang idealis adalah tidak adanya partai yang layak untuk dipilih pada pemilu mendatang. Lho kok? Kan partai peserta pemilu ada 38 partai dan itu merupakan jumlah yang besar. Memang, jumlah partai peserta pemilu banyak tetapi cara kerja mereka bisa dibilang sama, nyaris tidak ada perbedaan. Tidak ada partai yang berani menawarkan gebrakan-gebrakan baru yang inovatif. Banyak partai masih bergelut dengan isu-isu lama antara lain sekolah gratis, sembako gratis, dan berbagai gratisan lainnya. Bahkan, ada partai yang menonjolkan prestasi mereka capai-yang menurut saya belumlah pantas untuk dibanggakan dan bukan menjadi monopoli mereka sendiri-selama periode pemerintahan kali ini. Suatu hal tidak “cerdas” tentunya bagi sebuah partai yang banyak dihuni oleh kumpulan orang cerdas di dalamnya.

Berbagai hal di atas menurut saya berpotensi meningkatkan jumlah golput pada pemilu yang akan datang. Ketakutan akan tingginya angka golput ini memunculkan kekhawatiran sejumlah parpol yang takut kehilangan banyak suara pada pemilu mendatang. Beberapa upaya untuk mencegah golput pun dilakukan. Majelis Ulama Indonedia (MUI) bahkan harus turun tangan dengan memberikan fatwa haram untuk golput, suatu fatwa yang menurut saya terlalu berlebihan dan bukan sesuatu yang harus menjadi perhatian bagi sebuah ormas keagamaan. Seharusnya semua elemen masyarakat bisa memahami bahwa memilih dalam pemilu merupakan sebuah hak bagi tiap-tiap orang. Ya… hak. Kalau hak berarti terserah dari setiap orang untuk menggunakan atau tidak hak pilih yan mereka punya. Orang yang tidak menggunakan hak pilihnya bukan berarti orang yang tidak peduli dengan nasib bangsa ke depan. Menurut saya ini adalah pandangan yang keliru. Peduli atau tidaknya seseorang dengan nasib bangsa mereka bukan hanya tergantung pada partisipasi mereka dalam pemilu saja, tetapi juga pada hal-hal lain dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi, kesimpulan dari semua itu adalah biarkan lah masyarakat menentukan hak pilih mereka, tidak perlu ada intervensi atau pun cara-cara lain yang memaksa seseorang untuk menggunakan hak pilihnya karena tidak memilih juga merupakan sebuah pilihan. **sekian**