Modul Penerimaan Negara (bagian 1)

Latar Belakang Modul Penerimaan Negara (MPN)

Pada periode dimana fasilitas perbankan belum dimanfaatkan, penerimaan dan pembayaran dana negara dikelola oleh Departemen Keuangan melalui Kantor Kas Negara sepenuhnya. Kantor Kas Negara inilah yang menerima setoran pajak maupun non-pajak, serta membayarkan gaji pegawai negeri maupun kewajiban pada rekanan negara. Sementara, di sisi lain, penyetor pajak dan bukan pajak harus datang ke Kantor Kas Negara untuk mengisi formulir dan melakukan pembayaran. Dulu, formulir yang digunakan untuk mengisi setoran pajak dan bukan pajak akan diisi kemudian dimasukkan ke dalam mesin tera yang berfungsi untuk mengesahkan pembayaran tersebut, sekaligus sebagai bukti dana yang bersangkutan telah masuk ke kas negara.
Sejak tahun 1988, pola penyetoran dana negara kemudian berubah dengan penerapan Giralisasi dimana Depkeu mulai menggunakan jasa perbankan dalam proses penyetoran dana negara. Di akhir tahun 1990-an sistem ini kemudian dilengkapi dengan teknologi komputerisasi yang sifatnya ’stand alone’ terpisah dari sistem komputerisasi bank yang digunakan jasanya oleh Depkeu. Sistem pencatatan yang dikembangkan ini disebut Sistem Penerimaan Negara (SISPEN) yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Anggaran (pada saat itu). Sementara, pada periode yang kurang lebih sama. Direktorat Jenderal Pajak mengembangkan sistem Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak (MP3) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengembangkan Sistem Electronic Data Interchange (EDI) untuk melayani kalangan eksportir maupun importir.
Keberadaan ketiga sistem tersebut, SISPEN, MP3, dan EDI menimbulkan kendala, terutama bagi pihak bank yang harus mengelola mekanisme tiap-tiap sistem tersebut. Padahal selain teknis pengolahan data ketiga sistem tersebut berbeda, teknologi yang diterapkan juga memiliki kesenjangan. SISPEN, misalnya, masih menggunakan DOS atau teknologi komputerisasi yang tergolong kuno dalam memproses seluruh data transaksi penerimaan. Penggunaan teknologi semacam ini, selain menimbulkan keraguan terhadap validitas data, juga membuka celah untuk kesalahan pencatatan dari pihak bank. Padahal Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara atau KPPN sebagai pemegang kas negara berpegang pada laporan yang diberikan oleh pihak bank.
Berdasarkan kondisi di atas, sebuah terobosan untuk pencatatan penerimaan negara dilakukan oleh Departemen Keuangan pada akhir tahun 2006. Dengan disokong oleh Ditjen Perbendaharaan, Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai, Ditjen Anggaran dan Perimbangan Keuangan, serta Sekretariat Jendral, yaitu Modul Penerimaan Negara (MPN). Sistem MPN sendiri berlaku efektif mulai 1 Januari 2007.
Nilai lebih sistem MPN adalah karena terintegrasi dengan sistem perbankan serta adanya Central Database di Departemen Keuangan untuk transaksi penerimaan yang dapat diakses oleh unit-unit terkait di lingkungan Depkeu. Dengan MPN, pihak bank hanya perlu melakukan satu kali input dimana hasil peng-inputan tersebut dimasukkan ke suatu database yang telah tersedia dan terkoneksi dengan Depkeu.
Sistem ini menerapkan pula nomor khusus yang disebut NOMOR TRANSAKSI PENERIMAAN NEGARA (NTPN) yang merupakan bukti pengesahan suatu setoran ke kas negara. NTPN merupakan sebuah nomor yang unik, yaitu satu NTPN untuk satu setoran. Dengan NTPN Ditjen Perbendaharaan dapat melakukan rekonsiliasi dengan departemen teknis maupun unit-unit eselon I terkait di Depkeu, pelaksanaan dan pengecekannya akan lebih efektif. Sedangkan fasilitas E-Banking yang berteknologi tinggi dan terpercaya dapat memudahkan masyarakat dalam melaksanakan kewajibannya kapan saja dan dimana saja (walaupun dalam pelaksanaannya, penggunaan fasilitas e-banking ini masih banyak kendala yang dihadapi-red).

Sumber: diambil dari situs mpn.perbendaharaan.go.id dengan sedikit perubahan.

4 thoughts on “Modul Penerimaan Negara (bagian 1)

  1. mas, NTPN gak unik mas. itu dibentuk dengan menggunakan fungsi hash, dan itu tergantung berapa bit yang digunakan? artinya jika dimasukkan beberapa nilai yang dimasukkan, dengan menggunakan algoritma yang sama maka return value nya kemungkinan bisa sama alias NTPN bisa menjadi gak unik.

    • kalau tidak unik berarti ada kemungkinan satu NTPN untuk lebih dari satu transaksi, gitu ga? terus gmn kalo terjadi seperti itu mas?

  2. kalau barang kiriman dari luar negri melalui pos MPN sedang offline bagaimana ya?gak bisa dapat NTPN diganti dengan Validasi Bank ya ? bank DKI bukan?

    • kalo setoran lain, seperti pajak dan PNBP, misalkan ada pos atau bank yg offline bisa setor di bank/pos yang lain. jadi ga mslh mau setornya pindah2 bank/pos. Banknya yg sudah ditunjuk jadi bank persepsi (bank yang sudah dapat menerima setoran penerimaan negara/ sudah terhubung dengan MPN), jd g harus bank dki jg. kalo ada bank lain yang sudah jadi bank persepsi ya bisa setor juga di bank itu. demikian. cmiiw

Leave a reply to Suichal Cancel reply